Monday, June 25, 2007

Sisi Kehidupan Manusia

Elegi Irma
Oleh: Ahmadi Usman

Sore itu terasa indah sekali, seakan aku baru menyadari betapa luasnya alam ini, angin menerpa wajahku yang mulai senja dimakan waktu, saat seharusnya aku sudah menimang anak, bercanda dengan sang pendawa hati, memandikan si kecil dan ah……
“Sudahlah tak usah menyesali diri, toh aku seperti sekarang sudah merupakan karunia Ilahy yang paling mahal” pikirku sambil menghenyakkan tubuhku diatas rumput yang tertata rapi disamping rumah.
Neng…. Neng……neng…… neng……” terasa panggilan lembut disela-sela terpaan angin yang begitu lembut.
“Eh, Neng geulis ternyata disini?” Mama menghampiriku dengan senyum tipis.
“Oh Mama, ada apa?” tanyaku seraya mencoba menyembunyikan perasaanku.
“Ayo Sudah jam berapa sekarang?”
“Ah masih sore, Ma. Belum juga malam?” Jawabku singkat
“Neng…neng…..!!” sambil menarik nafas dalam-dalam mata Mama menerawang kelangit dikelilingi butiran air mata seakan ada kebahagian tersendiri.
Saat itu akupun tertunduk mengenang masa laluku yang hancur seakan tak memiliki masa depan.
“Ma, kok malah melamun. Sepertinya suara azdan sudah terdengar.” Dengan tersenyum. Mama masuk rumah tanpa kata-kata, seakan masih belum puas dengan perubahan yang terjadi pada diriku.

******
“Irma suryani…….Irma suryani…..Irma suryani !!!”
“A…a …ada, Bu…ad….”
“Iirma kamu ini kenapa, mau kuliah atau mau tidur?”
“Mau tidur, Bu!”
“Ha….. ha…. Ha……” seketika tawa teman-temanku meledak ketika mendengar jawaban ringanku tanpa rasa bersalah.
Tiba-tiba Bu Erna bangun dari tempat duduknya kearahku dengan tatapan marah.
“Apa tadi kamu bilang?!” tanyanya setengah membentak.
“Mau tidur, Bu. Apa kurang jelas?” jawabku remeh.
“Keluar….!!!” bentaknya seraya menunjuk arah pintu. Aku terdiam, lalu berdiri cuek.
“Makasih, Bu!” Dengan santai kuambil tasku yang kubeli dari Tajur setahun yang lalu, kemudian melenggang keluar ruangan.

***
Aku seorang mahasiswi di kampus hijau IPB. Hobbyku main internet. Apalagi chatting, sudah jadi makanan harianku hingga di kampus aku sering ngantuk alias tidur. Kampusku di daerah Dramaga, Bogor barat. Alamnya sejuk dan indah, apalagi kalau sabtu sore buat ngeceng uhh… tepat banget tuh. Apalagi di depan rektorat banyak pohon rindang dan taman, ya apa lagi kalau bukan……pacaran.

Selama ini aku nge-kost disekitar kampus. Jaraknya cuma ratusan meter. Setiap malam ramai sekali karena kebetulan didepan gang kostku terdapat toko buku al-Amin dan warung makanan bakso, ketoprak, nasi goring…wah, pokoknya komplit deh semua ada seperti pasar malam. Disamping kost-anku berjejer warnet dari yang paling ramai pengunjungnya sampai yang paling sepi, sampai seandainya aku keluar kamar dengan menutup mata saja bisa sampai warnet saking banyaknya.
“Irma, mau kemana?” sapa Nanda ketika aku hendak keluar tengah malam.
“Eh, Nanda. Kok udah malam belum tidur?” aku balik tanya.
“Iya nih besok ada praktikum, biassa masih persiapan!” Jawab nanda akrab
Segera kupakai sendalku sambil membuka gerbang kost pelan. “Kreeeeek…….tak.!!!” pintu terbuka akupun mulai melangkah.
“Ma, emang ga bosen chatting tiap hari, mending uangnya buat beli buku!” Seru Nanda sedikit menggurui.
Saat itu aku cuma menutup pintu sambil bergumam dalam hati “sok banget”.
Akupun menuju warnet biru tempat langgananku yang kebetulan cuma berjarak dua rumah dari kost-anku.
“Eh, Rud. Ada yang kosong?” tanyaku pada rudi penjaga warnet yang juga yuniorku dikampus
“Eh teh Irma…aya atuh, eta nomor genap” jawab Rudy tanpa komentar apapun.
Setiap hari gawe ku hanya internet dan internet sampe semua bahasaku jadi bahasa gaul habis hingga kadang suka kebablasan ngomong yang asusila dan iiiih….jijik!.

Disamping chatting, ngeceng pun sudah jadi hobiku apalagi malam minggu. Biasa, di rektorat semua jenis makhluk ada dari iblis, jin, setan, manusia bahkan setengah manusiapun ada disana. Cowok-cowoknya? Kereen abiiis, apalagi ditempat parkir sebagian motor masih ada pemiliknya yang biasa menunggu cewek-cewek yang mau diajak jalan.
Ternyata disitu ada Alan seniorku yang terkenal pinter, cuma agak ngaco. Tapi….kalau diperhatiin, tuh cowok cakep juga sih…
“Bang Alan…Bang Alan..!” aku memangilnya, memberanikan diri.
“Eh irma ada apa manggil-mangil?” Jawab alan sedikit bingung
“Ah, enggak…kebetulan aja lewat” jawabku santai
“Lha .. Bang Alan ngapain disini?” tanyaku basa-basi.
“Ya…. Sedang nungguin sang putri datang” jawabnya sambil melirik padaku.
Sambil senyum aku berpura-pura mau melanjutkan perjalanan.
“Ima…. Ima….!” Panggil Alan akrab. Aku heran, kok dia tahu nama panggilanku di kampung.
Tanpa menjawab aku mendekatinya sambil mengembangkan senyum manisku. Alanpun sepertinya paham maksud senyumanku.
“Aduh cantiknya!!” Sanjungnya.

Emang sebenarnya di kampungku aku terkenal cantik. Wajahku bulat, bibirku tipis, mataku tajam dengan alis yang tipis dan indah, apalagi rambutku yang hitam dan agak panjang. Cuma, emang hobiku main dengan cowok-cowok seangkatan di SD ataupun SMP, hingga semua teman-temanku memanggilku “si Ima ceco.” Tapi aku ga pernah ambil pusing.
Tiba-tiba aku menaiki motor Alan dengan gaya cowok.
“Ngueeeng….” motor Alan melesat menuju Kebon Raya.

****
Pagi itu seperti biasa aku berangkat ke kampus. Untuk memotong jalan aku memakai gang kecil tempat biasa kulewati, kebetulan saat itu banyak teman-temanku yang cowok pindah ke daerah itu, karena selain deket kampus, harganya juga lebih murah.
“Irma…..!” seseorang memanggilku dari dalam kamar yang gelap.
Aku terus jalan tanpa memperhatikan suara itu, walau penasaran sepertinya suaranya tak asing lagi.
Sore itu aku pulang agak lambat karena dihukum pak Budhi, dosen praktikum yang terkenal galak dan serem, dengan perasaan lemes aku pulang lewat jalan tadi, sambil ingin menjawab rasa penasaranku tadi pagi.
“Irma……!” Panggilan itu lagi dalam benakku
“Siapa ya?” Sepertinya suaranya aku kenal sambil menebak-nebak
“Kaget ya!” Suara Alan santai dengan celana pendek.
“Oh Bang Alan. Kok disini?” aku berusaha tenang dan santai. Padahal kalau aku ingat kejadian itu, aku sering keringetan karena dia sering mengajakku keluar mojok di Kebon Raya, sampe bosan rasanya. Kini sepertinya aku kurang suka pada sikapnya.
“Bang, pulang dulu ya. Ima capek nih habis praktikum!” Jawabku berusaha menghindar.
“Loh, kok pulang…pertanyaan Ima belum Abang jawab” balas Alan seakan menahanku.
“Iya nih cape…Permisi, Bang..” aku terus nyelonong tanpa menghiraukannya lagi.

Begitulah setiap hari Alan menyapaku, sampai aku pernah kesal dan berkata, “Bang Alan, kita ga usah berteman lagi ya, aku ga enak kalau calon tunanganku tahu.”
“Hei, sejak kapan kamu punya tunangan ?” Alan tak percaya.
Sejak aku mau ke berangkat ke kota ini. Ibuku menjodohkanku dengan orang baik-baik, jawabku sambil mencoba menutupi kebohonganku.
Setiap hari Alan mengejekku, dia tak percaya aku sudah punya tunangan, akhirnya akupun tak pernah lewat gang itu lagi untuk menghindarinya.

Namun suatu saat, aku tergesa-gesa sekali dan harus melewati gang itu karena waktu yang sudah mepet, akhirnya karena takut dimarahi Pak Budhi lebih baik kutelepon Lastri, teman kuliahku untuk memberitahu Pak Budhi bahwa aku sakit dan tak bisa ikut praktikum hari ini, saat itu aku tergesa-gesa menuju wartel untuk menelfon Lastri.“Mudah-mudahan Lastri belum berangkat kuliah”.

Sampai di wartel kecil di pojok jalan yang hanya punya dua KBU, kulihat ada dua orang yang sedang antri menunggu giliran. Akupun duduk gelisah.
“Silahkan, Mbak. Duluan…” seorang pemuda mempersilahkan.
“Terima kasih” jawabku. Kupencet nomor, aku juga memperhatikan lelaki itu lewat kaca argo wartel dihadapanku. Laki-laki tersebut tampak sangat bersahaja dan baik.

“Hallo…hallo….” Lastri menjawab dari ujung telpon namun kututup dan keluar ragu-ragu
Setelah membayar aku tak langsung keluar namun menunggu laki-laki yang dalam KBU itu. Penasaran.
“Assalamualaikum ….?” salamku.
“Walaikum salam….” jawabnya datar dan dingin.
“Sudah kak nelponnya?” Aku membuka pembicaraan.
“Iya, karena teman saya sedang tidak dikamarnya, jadi cuma sebentar,” jawabnya santai
“Emang temannya orang mana kak mungkin saya kenal?” aku masih ingin bicara penasaran
“Teman saya pendiam, tapi aktivis da`wah mungkin ukhti ga kenal.” jawabnya sambil mau keluar wartel. Aku tertegun sebentar karena dia memanggilku ukhti sebuah istilah yang aku dengar untuk teman-temanku yang aktif di kerohanian.
“Maaf kak. Kakak emang bukan orang sini?” Tanyaku masih.
“Oh bukan, saya mah orang Cianjur,” jawabnya
“Wah jauh juga ya kak. Kaka kesini hanya mau ketemu teman yang tadi kakak mau telpon?”
“Iya.” jawabnya singkat.
“Kak, maaf, kalau kaka kosong, bisa bantu saya ga?” pintaku dengan sedikit memelas.
Kulihat wajahnya yang tenang, tutur katanya yang sopan tertata rapi dan pakaian yang bersih dan putih. Kalau bicara denganku matanya tertunduk dan sabar dengan ocehanku.
“Please, kak…, bisakan?” pintaku lagi.
“Iya, kalau saya bisa bantu”.
***
Akhirnya kuceritakan tentang masalahku dengan Bang Alan, intinya gimana caranya agar Alan tidak menggangguku lagi, sedikit ragu ia berpikir lama.
“Oh ya, maaf dari tadi kita ngobrol belum saling kenal, saya Irma suryani dari Sukabumi. Aku menjulurkan tangan untuk berkenalan. Dengan sopan dia hanya melipat tangan didada sambil mengucapkan”
“Saya Husein dari Cianjur”.
“Gimana kak bisa ya..please?” pintaku lagi sambil memelas
“Insya Allah. Tapi hanya sekali ini saja ya karena saya manusia biasa khawatir gimana gitu,” jawabnya terpaksa. Mungkin.
Saat itu aku tetap ke kampus berharap bertemu Bang Alan di depan kost-annya dan mengenalkan “calon tunanganku”. Namun yang dicari sedang tak ada di kost.

Akhirnya setelah yakin Bang Alan tak ada, aku dan kak Husein tetap ke kampus untuk sholat zhuhur karena saat itu azdan terdengar dari masjid al-Hurriyyah. Masjid itu adalah masjid besar yang mampu menampung 2000 mahasiswa dengan arsitek unik karena masjid besar tanpa tiang tengah.

“Tempat wudhu pria dimana ya?” Tanya kak Husein sedikit tergesa.
“O …o disebelah kanan?” Jawabku bingung karena selama 2 tahun aku kuliah belum pernah ke masjid ini.
Akupun menuju tempat wudhu wanita disebelah kiri masjid. Dengan wudhu sekenanya aku menaiki lantai dua karena tempat sholat wanita disana.

Siang itu aku lapar sekali, sambil menunggu Husein keluar dari masjid aku membaca majalah internet, hobbyku.
“Punten, Teh Irma. Udah sholatnya?” kata Husein sambil menunduk lalu melangkah hendak meninggalkanku.
“Husein…. Husein, mau kemana?”
“Bukannya tadi The Irma bilang cuma sebentar dan mengenalkan seseorang, karena orangnya tidak ada, jadi saya pamitan dulu, mudah-mudahan teman saya sudah kemabali kekost-annya.
“Iya…tapi…tapi…..!” aku ragu mengatakanya sebenarnya aku masih ingin bicara dengannya, tapi kuurungkan niatku. “Ya udah, kalau gitu terima kasih ya! Atau kalau mau gimana kalau kita makan siang dulu di warung itu.” tawarku sambil menunjuk warung nasi disamping masjid.
“Oh ngga usah, Teh. Lagipula sayakan belum bantu Teteh apa-apa, kebetulan saya hari ini sedang libur makan.”
“Maksudnya?” tanyaku heran
“Saya sedang puasa.”
“Oh ya…maaf deh……!” tanggapku sok akrab
Setelah mengucapkan salam Husein beranjak meninggalkanku.
****
Hari-hariku mulai sepi, kuliahku pun terasa hambar. Matahari seakan menyalahkan diriku sehinggu aku malu bertemu dengannya.
Lama kelamaan, entah kenapa internetpun tak lagi membuatku tertarik. Hingga pada akhirnya teman-temanku mulai bingung melihat perubahan dalam diriku. Ada apa sih dengan aku????????
Aku kini menjadi pendiam, perasaankupun kadang jadi sensitif, muram dan berdiam dikamar menjadi kegiatanku setiap hari. Oh kenapaaaaaa???
****

Kicauan ceria burung menyeruap diantara sela-sela jendela kayu kamar kost-ku.
“Ahhhhhh…..” sambil menggeliat aku merasa ada yang lain dengan perasaanku. Setelah rapi, pagi itu aku minum susu sapi perahan ketika aku praktikum kemarin.
“Wah, pagi ini Teteh segar banget nih!” Nanda berbasa basi. “Teh, boleh tanya nggak ?” lanjutnya lagi.
“Boleh aja” jawabku sekenanya
“Husein itu siapa, Teh?” Nanda menatapku sambil senyum menunggu jawabanku
Aku kaget, tapi berusaha bersikap sewajar mungkin. Aku terdiam lama, sambil berpikir darimana Nanda tahu nama itu, nama orang yang selama ini menjadikan hatiku merasa kosong dan merasa tanpa arti.
“Nggak kenal tuh, lagipula kamu tahu kan akhir-akhir ini aku nggak pernah keluar kost-an kecuali untuk kuliah!”
“Oke lah. Soalnya saya pernah denger Teteh ngigau nyebut nama itu. Yaudah, selamat kuliah, Teh.” Nanda meninggalkanku sambil melirikku senyum

Ah, Husein. Seseorang yang selama ini aku rindukan, orang yang merubah hidupkan dengan sesaat.
Setiap hari aku berjalan memutar agak jauh memang, namun itu merupakan jalan kenangan bagiku, dimana Husein meninggalkanku dengan senyuman manisnya yang telah melukis dilubuk hati yang paling dalam.
Aku mulai rajin ikut liqo bahkan sesekali aku sudah dipanggil ukhti oleh beberapa teman-temanku dikampus. Alhamdulillah……..!
*****

Wisuda seminggu lagi, akupun bangga melihat togaku tergantung kamarku. Tak terasa akupun lulus walau tertinggal beberapa semester dibanding teman-temanku, tapi aku tidak menyesalinya karena disetiap langkahku ada harapan yang tersembunyi.
Jubahkupun semakin panjang, kadang-kadang akupun memberi materi keagamaan di masjid al-Hurriyyah.
“Teh Irma…….Teh Irma………” sayup-sayup terdengar Ningsih memanggil.
“Iya, ada apa,” jawabku lewat jendela kamarku.
“Hari ini Pak Budi ingin adakan perpisahan angkatan kita di Bandung loh. Ikutan yuk!” ajaknya. Sambil tersenyum kugelengkan kepala.
“Kayaknya aku nggak bisa ikut, aku ingin disini aja.”
“Ayolah, kapan lagi kita bisa kumpul-kumpul dengan teman-teman.” Ningsih memaksaku. Tak ingin mengecewakan, akhirnya akupun ikut.

Setelah keliling kota Bandung dan pergi ke Ciateur, akupun berhenti sejenak untuk membeli oleh-oleh peuyeum untuk teman-temanku di kost.
Perjalanan ini teras panjang dan membosankan, apalagi berkali-kali macet sehingga aku ingin memejamkan mata meskipun selalu terasa sulit.
Tak terasa aku sudah hampir memasuki kota Cianjur yang terkenal ramai dan sering macet. Aku terbayang akan seseorang yang telah kukenal dari kota ini. Ah, segera kutepis kenangan itu. Toh, aku sudah mulai melupakannya. Semoga hati ini terhindar dari apa-apa yang dilarang agama.
Matakupun mulai terasa sulit kubuka karna kantuk berat, tiba-tiba dari kejauhan aku melihat seseorang yang sepertinya mirip dengannya! Ah… mugkin ini khayalanku saja. Aku benar-benar ingin melupakannya.
Bispun mulai berjalan lebih cepat karena macet mulai berkurang. Aku sempat melihatnya memasuki sebuah toko peci, tak lama kemudian keluar lagi. Setelah bus semakin dekat dengan took tersebut, ternyata tampak semakin jelas bagiku bahwa dia memang Husein.
Tiba-tiba dari arahnya yang berlawanan, sebuah motor Tiger dengan kecepatan cukup tinggi menabrak Husein. Refleks, aku berteriak.
***
Tak terasa airmataku mengalir setelah kudengar kabar kematian Husein. Teman-teman melihatku heran, namun mereka belum berani angkat suara. kudoakan ia seusai sholat.
Wisudapun tiba. Orang tuaku tak bisa hadir karena kebetulan bersamaan dengan pernikahan pamanku.
Usai wisuda, kubereskan semua barangku, kemudian meninggalkan kost-ku sambil pamitan ke semua teman-temanku disana.
“Selamat jalan, Teh…..!” ucap mereka ketika melepasku menaiki angkot menuju terminal Bogor Baranagsiang
Hari-hari pilu, haru dan biru, semua terasa begitu cepat berlalu.
***

“Assamualaikum…….!” Sapaku pada setiap orang yang kutemui di kampung. Mereka hanya bengong dan pangling seakan-akan tidak mengenaliku.
“Assalamualaikum……!” salamku lagi ketika memasuki rumahku yang sederhana. Diatas kursi kulihat seorang ibu setengah baya dengan rambut terurai sedikit berubah. Beliau menatapku aneh dan ragu, dan terdiam lama.
“Mama, saya pulang!” kupeluk Mama dengan penuh rasa rindu dan hangat. Setelah beberapa lama, Mama memandangku ragu dan pangling.
“Ini benar Irma-nya Mama?” aku hanya mengangguk tanpa suara
“Mama bangga, Nak. Kau semakin dewasa dan bersahaja.” aku tersenyum. Syukurku ya Allah.[]

Saturday, June 16, 2007

MEMBENTUK DISIPLIN DIRI

Manusia terbentuk oleh lingkungannnya, sedangkan lingkungan dibentuk terkait dengan berbagai aspek kehidupan seperti bahasa, budaya dan karakter, maka dalam pembentukan disiplin diri ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan berbagaimacam perbedaan dalam kehidupan manusia.
Dalam hal ini manusia sangat dituntut untuk mengenali dari setiap unsur yang ada disekelilingnya, karena tanpa mengenalinya akan mengakibatkan kesulitan dalam membentuk disiplin diri, bagaimana mungkin seseorang mampu merubah, membentuk maupun memperbaiki diri sedangkan kemampuannya untuk menangkap kondisi diri dan lingkungannya saja masih belum mampu.
Maka dari itu ada beberapa hal yang harus dipelajari secara seksama ketika seseorang menginginkan perubahan dalam dirinya, terutama perubahan dalam membangun dirinya lebih maju, kreatif, berani dan berdisiplin.
berikut ini kiat dalam membentuk kedisiplinan dalam diri kita :
1. Kenali siapa dan bagaimana diri kita.
2. Kenali lingkungan bersama karakter yang dimilikinya.
3. Ciptakan nuansa tujuan hidup kita.
4. Siapkan ruang kerja, pengawas dan waktu untuk evaluasi
5. Yakin bahwa kita akan sukses.

sebenarnya masih banyak hal lain kiat untuk mendisiplinkan diri kita, namun bila kita cermati secara mendalam bahwa modal yang paling besar dari seluruh kiat, ternyata motivasi dirilah yang memiliki kekuatan besar dalam pencapaian pendisiplinan dari setiap diri manusia, walau demikian tidak ada salahnya untuk sedikit kami mengulas kembali kiat-kiat tersebut, sehingga dengan memudahkan bagi kita untuk memetakan sejauh mana kekuatan itu mampu jalani.
Sebelum melangkah lebih jauh kami hanya berharap agar setiap dari kita belajar untuk menghargai segala sesuatu yang kita mulai dari kita, baik terhadap waktu, masyarakat, maupun kewajiban kita sebagai makhluq Ilahy dengan beribadah sebagai tanda syukur kita pada-Nya.

Thursday, June 14, 2007

Karakter yang Perlu dibentuk

Ada beberapa hal penting yang harus dibentuk dalam setiap kepribadian pemimpin. hal tersebut diantaranya adalah:

1. Membentuk Disiplin Diri.
2. Mempunyai Nalar dan Inisiatif.
3. Mempunyai Karakter yang Mulia.
4. Membentuk Hubungan atau Relasi.
5. Memiliki Karisma.
6. Punya Kemapanan.
7. Kemurahan Hati.
8. Bersikap Mau melakukan Kepelayanan.
9. Siap untuk berKompetensi.
10. Mau Mendengarkan.
11. Selalu Berkomunikasi.
12. Mampu Memecahkan Masalah.
13. Pengertian.
14. Sikap Mau diajar.
15. Memiliki Visi.
16. Memiliki Tanggungjawab.
17. Mempunyai kemampuan daya tarik.
18. Mempunyai Loyalitas.

KEPEMIMPINAN

Penulis : Ahmadi Usman, S.Sos.I, M.A.

Setiap orang mempunyai jiwa kepemimpinan yang berakar dalam dirinya. Jiwa-jiwa kepemimpinan tersebut terkadang tak terlihat bahkan mungkin seakan tak ada pada diri seseorang. Namun hal tersebut tidak berarti bahwa seseorang tersebut lepas dari tanggungjawab kepemimpinan.
Setiap individu paling tidak mempunyai beban sebagai pemimpin pada dirinya sendiri, dan hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan mendapat amanah kepemimpinan yang lebih besar, seperti menjadi kepala rumah tangga, kepala RT/RW, Lurah, Camat atau bahkan menjadi seorang Presiden.
Ketidak mampuan seseorang memegang peran memimpin, kerap memberi pengaruh yang besar pada setiap langkah dan gerak geriknya. Oleh karena itu, diupayakan untuk menggali dan membentuk kepribadian tersebut, sehingga dapat menjadi pemimpin yang militan yang dapat menjadikan amanah yang diemban terlaksana dengan baik sesuai dengan ketentuan yang ada.
Salah satu hal yang harus dimiliki oleh seseorang adalah kemampuan untuk menganalisa secara konfrehensive segala permasalahan yang dihadapi dan memiliki teori kebijakan yang matang. Selain itu, harus memiliki mentalitas yang mumpuni.
Dalam blog ini ditawarkan beberapa kiat yang berangkat dari pengalaman empirik yang dibentuk secara teoritis praktis.
Maka ikuti "Manajemen Kepemimpinan" ini, insya Allah anda akan menjadi insan pemimpin yang amanah. Amien.